Dr. Opi Teci Darisma. M.Pd.I
Wah, sebentar lagi akan masuk masa libur sekolah saat ini anak- anak sekolah sedang disibukkan dengan ujian kenaikkan kelas dan setelah itu mereka akan menerima rapor. Hal lumrah para orangtua deg-degan saat penerimaan rapor, bagi orangtua yang terbiasa anaknya selalu rangking 1 akan merasa cemas kalau anaknya ternyata rangkingnya turun, bagi orangtua yang sudah tau setiap semesternya nilai rapor anak di bawah rata-rata akan cemas jika anaknya tidak naik kelas, ada orang tua yang cemas kalau nilai anaknya ada ‘merah’ untuk sekarang di istilahkan nilai belum memenuhi KKM (kriteria Ketuntasan Minimal) yang berarti mesti dituntaskan mengacu pada kebijakan sekolah masing-masing.
Tapi apa yang mau saya sampaikan disini adalah tentang hasil rapor kalau nilainya memuaskan, jangan lupa mengapresiasi anak anda. Tapi janganlah sebagai orangtua hanya karena takut jika anak anda tidak dapat rangking 1 lagi lantas anda memaksa anak untuk terus belajar hingga kegiatan sehari-harinya hanya belajar dan belajar. Tentu belajar harus dilakukan setiap anak sekolah. Namun terus menerus belajar hingga lupa bermain dan bersosialisasi dengan lingkungannya, hanya akan menciptakan anak yang pandai secara akademis, namun kaku dalam bergaul dan rendah kepeduliannya terhadap lingkungan dan sesama. Padahal, agama, moral, rasa kepedulianlah yang sangat penting di pupuk kepada anak dari dini dan yang paling penting lagi adalah anak bahagia tidak stress. Mestinya kita lebih menghawatirkan anak bila tidak ada rasa takut menyakiti saudaranya dan temannya ketimbang menghawatirkan anak tidak bisa matematika, IPA, dan tidak rangking 1 lagi. Kemudian bagaimana sikap orangtua saat menerima rapor ternyata nilai anak kurang memuaskan, tidak mendapat rangking maka beri motivasi dan dorongan pada anak, sama-sama intropeksi diri, tetap puji anak agar anak tidak kehilangan semangatnya dan tentu saja agar anak tidak semakin down, dan yang terpenting sebagai orangtuafokuslah pada nilai tertinggi anak bukan nilai rendah nya.
Orangtua sebaiknya tidak menganggap hasil ujian ini sebagai ukuran mutlak dari kemampuan yang dimiliki anak. Banyak sekali hal yang tidak terukur dalam ujian, terutama hal-hal yang bersifat non akademis, karena tinggi atau rendah nilai rapor bukanlah tolak ukur hasil belajar. Ada beberapa contoh anak-anak yang rangkingnya diluar sepuluh besar dan, secara duniawi tak kalah sukses: jadi anggota dewan , jadi pengusaha kuliner, jadi pengusaha toko material bangunan yang sukses, jadi pengusaha besi , jadi pejabat, jadi bupati, jadi menteri, jadi chef terkenal, tokoh masyarakat dan masih banyak lagi. Seorang anak yang berbakat sastra, akan sangat sulit untuk mengalahkan anak yang berbakat dalam bidang IPA, jika dinilai dari kemampuan ia dalam bidang IPA, begitupun sebaliknya.
Saya sendiri secara pribadi adalah orangtua yang tidak mengukur kecerdasan dari rangking, dan saya selalu pesankan kepada anak saya untuk tidak mengejar rangking tapi berambisilah untuk menjadi generasi pengubah dunia yang bermanfaat bagi umat dalam kebajikan. Karena generasi yang kita didik sekarang bukanlah generasi penerus melainkan generasi pengubah.
Melihat kenyataan yang saya lihat terhadap diri saya dan teman-teman saya, pada akhirnya saya sendiri berkesimpulan, ternyata rangking tidak terlalu menentukan di kemudian hari. Banyak faktor lain yang akan menunjang kesuksesan anak, yang sering dilupakan para orangtua hanya karena sibuk konsentrasi untuk membuat anak meraih rangking yang bagus. Sehingga mengesampingkan bahagia anak, pakar psikolg UI Elly risman mengatakan: anak usia dini harus jadi anak yang bahagia bukan jadi anak pintar karena pintar ada waktunya…
Ajarkanlah anakmu sesuai zamannya, bukan membandingkan- bandingkan antara zamanmu dengan zaman mereka.