Covid-19, Persatuan, dan Public Trust
Oleh Yanuardi Syukur *Antropolog Universitas Khairun, Mahasiswa Program Doktor Antropologi FISIP UI, Pendiri “Rumah Produktif Indonesia”.
Pada sebuah pagi, saya membaca kolom singkat dari Presiden Brookings Institution, John. R. Allen, 21 Maret 2020, yang menulis: “COVID-19: A Moment for unity.” Covid-19, momentum untuk bersatu.
Secara singkat, dia mengeritik statement Presiden Trump yang menyebut diksi “virus Cina” (Chinese Virus) sebagai retaliasi terhadap kampanye China bahwa virus corona itu asalnya dari Amerika–sebuah narasi konspiratif yang banyak disebar di media sosial.
Tapi, yang penting dari tulisan di “president’s corner” Brookings tersebut adalah gagasannya bahwa AS dan China harus menggabungkan kekuatan untuk meringankan penderitaan populasi mereka masing-masing dan menangani pandemi global. Jika itu terjadi, maka akan menjadi, apa yang Allen sebut sebagai “momen paling kuat di abad ke-21.”
Kerjasama Internasional
Coronavirus hadir di tengah perang dagang dan dinamika stratejik antara Amerika dan China. Kedua negara raksasa ini saling berebut pengaruh, saling mengunci, karena masing-masing ingin mempertahankan dan tampil sebagai negara superpower di dunia.
Dalam situasi itu, sebagian pencinta teori konspirasi meyakini bahwa kehadiran virus ini tidak lepas dari persaingan antar dua kekuatan tersebut. Di satu sisi ada yang percaya bahwa virus ini berasal dari laboratorium virus di Wuhan yang diproduksi oleh China sebagai senjata biologis, dan di sisi lain orang percaya bahwa virus ini berasal dari Amerika yang dibawa oleh tentara AS ketika ikut pertandingan militer di Wuhan.
Yang mana benar? Tergantung sudut mana kita berpijak. Tapi, dalam konteks sekarang rasanya cukup sulit untuk menentukan asal-usul virus misterius tersebut. Namun, satu hal yang pasti adalah kedua negara besar itu harusnya mulai menegosiasikan kepentingan nasionalnya untuk kemudian berfokus pada kepentingan global, yaitu bagaimana memerangi virus.
Yanzhong Huang, profesor global health dari Seton Hall University, sebuah kampus Katolik yang terletak di South Orange, New Jersey, mengatakan bahwa seharusnya ini momen yang sempurna bagi kedua negara untuk mengatasi perbedaan untuk kemudian mengatasi ancaman coronavirus.
Sebenarnya, tulis Huang di Foreign Affairs (24 Maret 2020), China telah berbagi situasi genetik virus itu untuk kemudian Amerika melakukan tes diagnostik dan menawarkan vaksin potensial, akan tetapi kebijakan sempit yang disusul denegan hasutan dan rumor–yang dilakukan oleh petinggi kedua negara–membuat kolaborasi itu jadi mentah.
Ada nuansa tidak saling percaya antara keduanya yang itu membuat persatuan jadi rumit. Ketika Menlu AS, Mike Pompeo menjanjikan bantuan $100juta untuk membantu China dan negara lain yang terdampak coronavirus, pihak China meragukan itu, karena sebelumnya, Menlu AS ke-70 itu mengatakan bahwa Partai Komunis China adalah “the central threat of our times” alias ancaman utama di zaman kita (New York Times, 30 Januari 2020).
Dalam masa sulit kayak begini, sudah saatnya kedua negara besar dan kuat itu untuk bersatu mencarikan solusi atas pandemi global ini. Kolaborasi mereka juga disusul dengan kemitraan dengan negara-negara di dunia–termasuk Indonesia–agar negara-negara terdampak tidak sendirian dalam memerangi virus. Kerja sama internasional internasional dengan satu tujuan, memerangi covonavirus, haruslah menjadi “international interest” yang merupakan gabungan dari berbagai kompromi dan negosiasi “national interest.”
Persatuan Nasional
Pentingnya kerja sama internasional itu harus dibarengi pula dengan kerjasama dan persatuan nasional. Di tengah mewabah virus, kita kadang lupa bahwa “persatuan Indonesia” adalah sila ketiga yang sangat penting untuk diperhatikan. Bahwa apa yang kita pikirkan dan lakukan dalam situasi sulit seperti sekarang semestinya berorientasi persatuan untuk menghadapi coronavirus.
Produksi konten gosip, rumor, hoax, yang semuanya itu dilakukan dengan intensi untuk menyalahkan satu sama lain sudah saatnya diakhiri. Memang, harus diakui bahwa pemerintah kita termasuk tidak antisipatif ketika wabah muncul di Wuhan–yang disusul dengan semacam “kebanggaan” bahwa Indonesia tidak dimasuki virus. Tapi itu sudah berlalu. Kini saatnya untuk bersatu untuk sama-sama memikirkan dan mengupayakan agar “badai wabah” ini segera berakhir.
Rapat terbatas Presiden Jokowi dengan para gubernur (24 Maret 2020) telah menguatkan bahwa “penanganan covid-19 harus satu visi” dan kebijakan yang ada di tingkat provinsi harus memperhatikan dua hal: kesehatan dan keselamatan rakyat. Bantuan sosial juga harus dipersiapkan. Stok pangan harus betul-betul ada (Presidenri.go.id, 24 Maret 2020).
Sejalan dengan itu, maka anggaran belanja yang tidak prioritas (di APBN dan APBD) harus dipangkas mengingat kondisi fiskal alias perbendaharaan negara kita, kata Jokowi, “bukan sebuah kondisi yang enteng.” Artinya, kita tahu bahwa ekonomi kita belum betul-betul sehat untuk bisa–sebutlah untuk melakukan lockdown–dan membiayai seluruh kebutuhan masyarakat dalam situasi tersebut.
Maka, perintah presiden kepada semua menteri, gubernur, bupati, dan walikota untuk memangkas rencana belanja yang tidak prioritas itu sesuatu yang realistis–untuk kepentingan nasional–namun tetap serius dalam menuntaskan wabah coronavirus. Di sisi lain, warga bangsa +62 juga harus patuh pada protokol pemerintah untuk berdiam di rumah, menjaga jarak aman agar meminimalisir potensi penularan virus misterius itu.
Seiring dengan pengarahan presiden tadi, maka para pejabat terkait harus serius untuk itu. Masyarakat sipil juga diharapkan tidak hanya berdiam diri, tapi mensuppport pemerintah pusat dan daerah untuk betul-betul mengalokasikan anggaran untuk menuntaskan masalah ini.
Pentingnya Public Trust
Sekeras-kerasnya orang bekerja jika tidak ada public trust atau kepercayaan publik, itu juga problematik. Maka, upaya pemerintah untuk melakukan berbagai cara agar wabah ini segera berakhir patut kita apresiasi dan dukung dengan tetap menjaga sikap kritis-konsruktif kalau-kalau ada yang terlihat janggal.
Public Trust akan membawa pada kerja sama. Jika masyarakat percaya kepada pemerintah atau otoritas terkait, maka mereka akan bekerja sama untuk mengikuti protokol yang berlaku. Di satu sisi publik memang ingin percaya tapi sialnya informasi yang beredar di medsos begitu banyak yang tidak terkonfirmasi, hoax, misleading, dan terlalu memberikan “efek kejut yang beruntun” dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya.
Sudah saatnya bagi kita untuk bervisi sama, yaitu persatuan dengan cara mengarahkan semua kepercayaan dan praktik kultural untuk membantu manusia Indonesia dalam beradaptasi dengan situasi yang tidak mudah kayak sekarang. Semua perangkat kultural yang di 17.000-an pulau Indonesia dan ratusan etnik serta sekian banyak grup Whatsapp harus bersatu untuk menjaga ekosistem sosial-budaya kita tetap bersatu untuk menuntaskan masalah bersama.
Apa yang kita tulis di medsos, dalam praktik yang paling sederhana, nuansanya tetap pada persatuan dan semaksimal mungkin mengandung kabar baik. Tidak menyepelekan wabah misterius ini, tapi tidak juga terlalu menyebarkan cerita seram berlebihan yang bisa berdampak tidak sehat bagi psikologi sesama anak bangsa.
Menutup esai ini, saya ingin mengutip kalimat John R. Allen yang menarik: “If we’re going to war against the pandemic, we’re going to need everyone.” Jika kita berperang melawan pandemi, kita butuh semua orang. Ya, semua orang.
- OPEN RECRUITMEN ANGGOTA KOMUNITAS SEKOLAH LITERASI REJANG LEBONG._ - October 23, 2020
- Momentum Hari Santri, “Call For Article: Literasi Kita Indonesia” - October 23, 2020
- Call For Paper Jurnal Literasi Kita Indonesia - October 23, 2020
Leave a Reply