KARAKTER ANAK BANGSA SELAMATKAN MASA DEPAN KITA
Penulis: Gabby Mauren Pricilia (Dosen/ Komunitas Literasi IPTS Padangsidimpuan – Medan). (27/03/2019).
Globalisasi ditunjukkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Perkembangan Iptek memberikan dampak yang sungguh luar biasa. Di samping dampak yang positif, pada kenyataannya perkembangan Iptek melahirkan banyak persoalan negatif, terutama kemerosotan moralitas generasi bangsa yang diistilahkan dengan dekadensi moral.
Generasi penerus bangsa yang merupakan generasi milenial menjadi kekuatan bangsa untuk dapat bertahan dan bersaing dalam gempuran globalisasi yang kian menjadi. Generasi milenial atau kadang juga disebut dengan generasi Y adalah sekelompok orang yang lahir setelah Generasi X, yaitu orang yang lahir pada kisaran tahun 1980- 2000an. Maka ini berarti generasi millenial adalah generasi muda yang berumur 17- 37 pada tahun ini. Data menunjukkan dari jumlah 255 juta penduduk Indonesia yang telah tercatat, terdapat 81 juta penduduk yang termasuk generasi millenial atau berusia 17- 37 tahun. Berarti sekitar 30% dari penduduk Indonesia, ini bukanlah jumlah yang sedikit. Jumlah yang besar ini sebenarnya menjadi modal bagi Indonesia untuk bergerak maju, membangun Indonesia menjadi lebih baik.
Generasi milenial dianggap spesial karena generasi ini sangat berbeda dengan generasi sebelumnya, apalagi dalam hal yang berkaitan dengan teknologi. Bagaimana tidak, generasi milenial lahir pada saat televisi tak lagi hitam putih, handphone juga internet sudah ada bahkan kini membumi. Sehingga generasi ini dianggap sangat mahir dalam teknologi.
Dengan kemampuannya di dunia teknologi dan sarana yang ada, generasi milenial sangat mendominasi jika dibandingkan dengan generasi X. Kehidupan generasi milenial tidak bisa dilepaskan dari teknologi terutama internet, bahkan sudah menjadi kebutuhan pokok bagi generasi ini. Konsumsi internet penduduk kelompok usia 17 – 37 tahun juga jauh lebih tinggi dibanding dengan kelompok penduduk yang usianya lebih tua. Hal ini menunjukkan ketergantungan mereka terhadap koneksi internet sangat tinggi.
Penggunaan internet sebagai bukti kemajuan teknologi tentu tidak hanya mendatangkan dampak positif tapi juga negatif. Akses internet yang mudah kini tak ubahnya seperti belantara liar dimana konten positif dan negatif bercampur jadi satu yang mana akan menjadi berbahaya jika digunakan tanpa batasan dan pengawasan.
Saat ini jutaan orang menggunakan internet setiap hari, termasuk anak-anak. Karena internet telah menjadi sebuah kebutuhan yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan generasi milenial. Kehadiran internet dewasa ini bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi, internet memberikan kemudahan bagi penggunanya sebagai media komunikasi yang tak dibatasi waktu dan jarak tempuh, juga memudahkan penggunanya dalam mencari informasi sampai ke luar negeri. Namun di satu sisi kehadiran internet bukan hanya menjadikan hidup mudah tapi juga resah. Mengapa? Karena fenomena internet dapat memunculkan kejahatan berbasis cyber yang dikenal dengan istilah cyber crime.
Kejahatan cyber yang paling mengkhawatirkan akhir-akhir ini, adalah pesatnya perkembangan situs-situs porno dalam berbagai tampilan yang sangat vulgar. Diperkirakan, 60 persen dari 1 miliar pengguna internet dunia saat terkoneksi dengan jaringan, mengakses situs pornografi.
Data dari hasil penelitian ahli komputer Jerry Ropalato di tahun 2007 dalam Pornography Statistic menunjukkan fakta yang mencengangkan bahwa pengakses situs porno berdasarkan usia 18 – 24 tahun sebanyak 13,61 %, usia 25 – 34 tahun sebanyak 19,90 %, usia 35 – 44 tahun sebanyak 25,50 %, usia 45 – 54 tahun sebanyak 20,67 % dan usia 55 tahun ke atas sebanyak 20,32 %.
Hasil penelitian Jerry Ropalato juga mengungkapkan, setiap detik ditemukan 372 pengguna yang mengetik password untuk situs-situs porno, yang diantaranya termasuk kategori anak/remaja. Pengakses situs-situs porno itu rata-rata usia 11 tahun untuk kelompok pemula, dan kelompok umur 15 – 17 tahun dengan jumlah sebesar 80 %.
Menyikapi hal tersebut, Komisi Perlindungan Anak (KPA) telah melakukan survei terhadap 4.500 remaja di 12 kota besar di Indonesia di tahun 2007. Hasil survei KPA sangat mengejutkan, karena 97 % responden mengaku pernah menonton adegan porno. Dampaknya, sebanyak 93,7 % responden mengaku pernah berciuman, petting, dan oral sex, serta 62,7 % remaja yang duduk di bangku SMP mengaku pernah berhubungan intim. Data yang lebih mengejutkan, sebanyak 21,2 % siswi SMA mengaku pernah menggugurkan kandungan.
Kasus kejahatan seksual terhadap anak akibat internet juga meningkat. Sebagai contoh di Provinsi Aceh, kasus pelecehan seksual cukup tinggi. Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak melaporkan pada tahun 2015 terjadi 39 kasus kekerasan, pada 2016 menjadi 208 kasus, dan kembali naik menjadi 291 kasus pada 2017. Sudah diduga, konten pornografi yang muncul di internet menjadi faktor dominan pelaku dalam melakukan kejahatan seksual pada anak.
Generasi milenial termasuk bagian dari pengakses internet. Jadi, bukan tidak mungkin mereka juga penggemar situs-situs porno di internet. Dengan kata lain, pornografi lewat internet sudah sangat luar biasa, sehingga diperlukan kebijakan untuk memfilter informasi, termasuk pornografi di internet untuk menjaga moral generasi penerus bangsa, untuk menyelamatkan masa depan kita.
Karakter yang kuat akan mampu menyelamatkan generasi milenial agar tak tergilas derasnya arus globalisasi yang sulit untuk dibendung. Karakter yang ditanamkan lewat pendidikan yang dikenal dengan istilah pendidikan karakter menjadi solusi guna mengatasi persoalan pelik anak bangsa saat ini. Penanaman karakter yang kuat akan menjadi filter dalam menampung informasi lewat internet yang memang tak bisa dipisahkan dari kehidupan generasi milenial dewasa ini.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy seperti yang dikutip Antara, Selasa, 6 Maret 2018 mengatakan “Untuk mempersiapkan generasi millennial menghadapi tantangan ke depan, yang terpenting adalah menata karakter.” Pendapat tersebut menjelaskan bahwa menata karakter menjadi modal utama untuk mempersiapkan generasi milenial dalam menghadapi tantangan zaman.
Menurut John W. Santrock “Pendidikan karakter merupakan pendekatan langsung untuk pendidikan moral dengan memberi pelajaran kepada peserta didik tentang pengetahuan moral dasar untuk mencegah mereka melakukan perilaku tidak bermoral atau membahayakan bagi diri sendiri maupun orang lain,” dilansir Kompas.com (20/10/2015)
Pendidikan karakter memiliki tiga fungsi utama. Pertama, fungsi pembentukan dan pengembangan potensi. Pendidikan karakter membentuk dan mengembangkan potensi siswa agar berpikiran baik, berhati baik, dan berperilaku sesuai dengan falsafah pancasila. Kedua, fungsi perbaikan dan penguatan. Pendidikan karakter memperbaiki dan memperkuat peran keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan pemerintah untuk ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam pengembangan potensi warga negara dan pembangunan bangsa menuju bangsa yang maju, mandiri, dan sejahtera. Ketiga, fungsi penyaring. Pendidikan karakter memilah budaya bangsa sendiri dan menyaring budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilainilai budaya bangsa dan karakter bangsa yang bermartabat (Zubaidi, 2011:18)
Hal ini berkaitan dengan amanah peraturan presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter yang dijelaskan bahwa untuk memperkuat pendidikan karakter dilakukan melalui harmonisasi oleh hati, rasa, pikiran, dan gerakan yang melibatkan kerjasama antara satuan pendidikan, masyarakat, dan khususnya keluarga.
Pendidikan di dalam keluarga, sebagai pendidikan pertama anak, memiliki tanggung jawab besar dalam penanaman karakter anak. Kemudian pendidikan formal di sekolah menjadi tumpuan harapan untuk menjadi solusi atas permasalahan ini. Sekolah menjadi tempat yang dianggap efektif untuk pembinaan dan penguatan karakter, moral, dan jati diri peserta didik. Pembinaan karakter ini menjadi begitu penting karena anak ataupun remaja adalah harapan untuk masa depan bangsa. Di samping itu, pentingnya pendidikan karakter adalah suatu pondasi kuat untuk mencetak tunas-tunas bangsa yang akan menjadi tonggak kemajuan bangsa. Dengan kata lain, pembinaan pendidikan karakter pada jenjang usia sekolah menjadi hal yang urgent untuk dilaksanakan.
Karakter utama yang harus ditanamkan agar tak tergilas arus globalisasi seperti dampak penggunaan teknologi seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya adalah religius. Karakter ini merupakan yang terpenting untuk ditanamkan bagi generasi bangsa. Setiap agama sudah pasti mengajarkan pemeluknya untuk senantiasa takut akan Tuhan. Dengan sikap takut akan Tuhan, maka seseorang akan berbuat baik kepada diri sendiri, keluarga, dan sesamanya. Karakter religius juga akan membuat pemeluknya saling membantu dan memiliki sikap tenggang rasa, serta menghormati pemeluk agama lainnya. Karakter religius ini akan menjadi benteng pertahanan generasi bangsa dari hal-hal yang bersifat merusak dari penggunaan teknologi. Penguasaan ilmu dan teknologi tanpa karakter religius akan berbahaya dan tentunya berdampak pada masa depan bangsa ini.
Idealnya pendidikan karakter religius itu adalah tugas keluarga sebagai rumah pertama dan pastinya tugas sekolah sebagai rumah kedua peserta didik, dimana orang tua telah mempercayakan anaknya untuk dididik disana. Sehingga pendidikan karakter ini bukan hanya menjadi tugas guru pendidikan agama saja. Karena penanaman karakter religius tidak hanya diserahkan kepada guru agama, dan karyawan sekolah, orang tua di rumah, bahkan masyarakat pun berkewajiban menanamkan nilai-nilai karakter pendidikan agama itu kepada anak. Maka dengan demikian, penyelenggaraan pendidikan karakter perlu dilaksanakan secara bersama-sama, oleh semua guru, termasuk guru umum.
Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk menanamkan karakter ini di sekolah antara lain dengan cara membiasakan untuk sholat berjamaah di musholla sekolah, sopan santun dalam berbicara antara peserta didik, santun terhadap guru, berpakaian sopan menutup aurat, membudayakan senyum, sapa, dan salam, memajang gambar atau motto yang mengandung pesan keagamaan, merutinkan kunjungan masjid, menyantuni fakir miskin dan anak yatim, membiasakan sedekah, dan juga memberikan siraman rohani sesuai agama masing-masing pada peserta didik. Semua itu dilakukan untuk menjauhkan peserta didik dari pengaruh buruk penggunaan teknologi seperti yang sudah dipaparkan di atas.
Dalam nilai religius terkandung pula nilai semangat berkorban, peduli sesama, saling menolong, perilaku tradisi sholat berjamaah, gemar bersedekah, rajin belajar dan perilaku yang mulia lainnya. Dan untuk menanamkan karakter itu, diperlukan pula peran keluarga sebagai orang terdekat dan juga masyarakat lingkungan sekitar tempat peserta didik tinggal.
Selanjutnya, dampak kemajuan teknologi bagi generasi milenial khususnya remaja adalah bergesernya rasa cinta kepada budaya sendiri. Remaja zaman now lebih tertarik akan budaya asing daripada budayanya sendiri, bahkan menjadi kebarat-baratan. Media sosial yang paling diminati oleh remaja seperti facebook, instagram, twitter menjadi perantara masuknya budaya asing ke Indonesia. Masuknya budaya asing tersebut jelas memberikan dampak terhadap budaya Indonesia. Tentu saja memilki dampak positif dan juga negatif. Tanpa dibentengi dengan karakter yang kuat, ketertarikan akan budaya asing dikhawatirkan membuat bangsa Indonesia kehilangan jati dirinya.
Proklamator kemerdekaan Republik Indonesia, Presiden pertama kita, Bapak Ir. Soekarno, pernah berkata, “Tugasku lebih ringan karena melawan penjajah. Tugas kalian lebih berat karena menghadapi bangsa sendiri.” Kalimat itu secara gamblang menjelaskan bahwa menghadapi bangsa sendiri jauh lebih sulit daripada menghadapi bangsa lain. Tantangan menanamkan karakter nasionalis ini menjadi berat karena keterbukaan era globalisasi.
Melalui pendidikan karakter, karakter nasionalis dapat ditanamkan sejak dini. Hal itu dapat menumbuhkembangkan kecintaan generasi bangsa terhadap tanah airnya sendiri. Bayangkan apabila generasi bangsa tidak mencintai budayanya sendiri, akan jadi apa bangsa ini? Jika bangsa lain saja mencintai budaya Indonesia, apakah kita rela jika kebudayaan kita diklaim bangsa lain? Misalnya seperti wayang kulit yang pernah diklaim Malaysia sebagai bagian dari kebudayaan mereka karena orang-orang Indonesia yang tinggal disana sering melakukan pertunjukan wayang kulit. Namun untungnya pada tanggal 27 November 2003, UNESCO mengakui bahwa wayang kulit adalah budaya asli Indonesia.
Maka dari itu, upaya penanaman karakter nasionalis harus dilakukan sejak dini lewat pendidikan formal yaitu sekolah. Sebagaimana menurut Patimah (2011) pendidikan karakter secara terintegrasi di dalam proses pembelajaran di sekolah adalah pengenalan nilai-nilai, fasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai- nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-harimelalui proses pembelajaran baik yang berlangsung di dalam maupun
di luar kelas pada semua mata pelajaran. Sekolah dapat mengaplikasikan pendidikan karakter untuk menanamkan dan menguatkan karakter nasionalis peserta didik lewat upacara bendera setiap hari Senin dan hari besar nasional, memperingati dan merayakan hari besar nasional, seperti hari kemerdekaan, hari pahlawan, sumpah pemuda dan hari besar lainnya, pengenalan lagu-lagu nasional dan lagu daerah, dan pengenalan pakaian adat. Pendidikan karakter nasionalis yang mengandung nilai-nilai seperti cinta tanah air, cinta damai, semangat kebangsaan, peduli sosial dan lingkungan ini dapat diaplikasikan mulai dari PAUD, TK, SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA.
Masa depan bangsa ditentukan oleh kualitas generasi penerusnya. Generasi milenial merupakan generasi penerus bangsa yang akan menjadi tumpuan harapan akan masa depan kita, mau dibawa kemana bangsa Indonesia yang kita cintai ini. Saat ini kita tengah berada ditengah derasnya arus globalisasi yang ditandai dengan majunya teknologi yang bisa dinikmati generasi milenial kini. Tantangan akan masa depan semakin tinggi, maka karakter yang kuatlah yang dapat membentengi agar tak tergilas arus globalisasi, agar bangsa kita tak kehilangan jati diri. Kemajuan teknologi seperti internet bukan hanya membuat kita mudah tapi juga menjadi resah. Sebab internet kini seperti belantara liar, dimana konten negatif dan positif bercampur menjadi satu. Karakter yang kuatlah yang menjadi filter sekaligus benteng diri dari dekadensi moral yang menggerogoti generasi.
Generasi milenial sebagai pengguna internet telah menjadi candu, jika tanpa karakter yang kuat, akan habis, bablas, tergilas tanpa ampun. Kasus pornografi anak, pelecehan seksual, kekerasan pada anak, bullying, gaya kebarat-baratan, tidak cinta tanah air, tidak cinta damai dan karakter buruk lainnya membuat masa depan bangsa terancam. Maka penanaman dan penguatan karakter religius dan nasionalis dapat menjadi benteng anak bangsa dari dampak negatif kemajuan teknologi seperti pornografi dan gaya kebarat-baratan. Oleh karena itu, pendidikan karakter harus ditanamkan sejak dini, yang sebenarnya bukan hanya tugas sekolah sebagai pendidikan formal, tapi juga keluarga sebagai orang terdekat dan masyarakat demi masa depan bangsa, demi keselamatan kita.
- P-ADRI BENGKULU DAN LITERASI KITA INDONESIA SIAP TERBITKAN BUKU TECNOLOGY BASED HIGHER EDUCATION FOR CULTURAL ADVANCEMENT - November 17, 2024
- TBM TASIK MALAYA CURUP HADIRKAN BUKU ANTOLOGI REFLEKSI KEHIDUPAN MERAIH HARAPAN - November 17, 2024
- JURNAL PENDIDIKAN GURU - November 17, 2024
Leave a Reply