Laki-laki setengah baya itu menyapa dari kursi kemudi. Ia adalah orang yang mengantar dirinya kembali ke jalan raya setelah melakukan survei di sebuah kampung yang berada cukup jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota.
“Aduh, maklumin ya mbak kalau kurang nyaman, jalannya jelek banget ini, untung saja sedang tidak hujan, kalau hujan lebih kondisi jalannya lebih parah. Becek banget mbk”. Terang lelaki itu padanya.
Perempuan yang duduk di kursi penumpang itu tersenyum. Terpancar kebahagiaan dari kedua matanya yang menatap lelaki tua itu.
“Haha, nggak apa-apa kok pak, bapak membantu menghantarkan saya ke jalan raya saja saya sudah sangat bersyukur”.
Mendengar jawaban itu, laki-laki itu pun sedikit tenang, ia kembali fokus untuk mengemudikan kendaraan ini. Tidak ada lagi pembicaraan. Perempuan itu juga sibuk memandangi sekitar. Jalan bebatuan yang cukup terjal tidak menyurutkan rasa takjubnya kala memadangi hutan rindang yang terbentang luas di bawah cakrawala. Hanya terdengar deru mesin kendaraan dan suara decit ban kala lelaki itu menginjak rem.
“Pak, komoditas kebun di sini apa aja pak?”. Perempuan itu tiba-tiba bertanya memecahkan keheningan.
“Kalau di sini, ada kopi, ada sawit, karet juga ada mbk”.
“waaah, kalau kopi saat ini harganya berapa pak?”.
“sekilonya sekitar empat belas ribuan mbak”. Jawab lelaki itu sembari tersenyum. “Kalau sekarang sudah enak mbak, meskipun jalannya masih belum bagus, tetapi sudah ada kendaraan yang masuk. Jadi mengangkut hasil panen ke jalan raya lebih mudah. Dulu belum ada lho. Bapak saja dulu mengangkat kopi ke jalan raya itu jalan kaki mbak”. Tambahnya sembari mengingat kenangan masa lalu.
Mendengar hal itu, perempuan itu sedikit terkejut karena dengan kendaraan pun, perjalanan dari kampung itu hingga ke jalan raya masih memakan waktu satu jam.
“Wah, kalau begitu jauh dong pak”.
“Ya lumayan jauh mbak. Kalau jalan kaki ke jalan raya, waktunya sekitar dua sampai tiga jam mbak. Tapi rutenya beda dengan jalan ini. Kalau lewat sini, bisa lebih lama lagi mbak”. Ujar laki-laki itu. “Tapi kalau saya lagi capek, terus keinget anak dirumah, capeknya bisa ditunda mba. Hahaha”. Tambahnya sembari tertawa.
“Hah? Nunda capek? Maksudnya gimana pak?”. Tanya perempuan itu penasaran.
“Ya ditunda mbak. Kalau lagi capek gitu terus keinget dengan anak, balik lagi semangatnya mbak. Soalnya saya kepengen anak saya bisa sekolah yang tinggi mbak, biar nggak kayak bapaknya yang kerjaannya kasar. Atau paling tidak, ya dia menjadi orang yang pinter. Soalnya saya dulu ga sekolah mbak. Jadi pengen aja anak saya bisa terus sekolah. Nah, kalau saya lagi capek atau lagi males, terus saya keinget itu, saya jadi semangat lagi mbak. Kayak lupa gitu dengan capeknya”. Lelaki itu menjawab dengan semangat.
Perempuan yang duduk di belakang tersenyum mendengar jawaban laki-laki itu. Lalu sejenak ia memandangi laki-laki itu dai belakang. Terlihat kulit yang hitam terbakar terik matahari. Jari-jari yang menggenggam kemudi pun terlihat pecah-pecah. Bekas goresan-goresan kecil banyak ia temui di atas tangan laki-laki itu. Ia memandang laki-laki itu dengan rasa kagum.
“Bapak hebat ya, semoga saja keinginan bapak bisa terkabul”.
“Aamiin mbak, semoga saja”. Laki-laki itu menjawab sembari tersenyum.
Laki-laki itu kembali memacu kendaraan itu. Debu-debu berterbangan tertinggal di belakang. Sedangkan perempuan yang sedang ia hantar tersenyum dan kembali memandangi sekitar. Di balik senyum yang ada. Perlahan menghadirkan bulir-bulir semangat yang memenuhi rongga hatinya. Keresahan yang sempat ia rasakan turut terbang bersama debu yang tertinggal.
“Ah, kasih orang tua pada anaknya tak cukup dijelaskan oleh kata-kata. Aku jadi rindu ayah dan ibu”. Gumam perempuan itu dalam hati.
….
M. Abdussalam Hizbullah
24 Oktober 2019