Peran Agama di Masa Pandemi Coronavirus

Oleh Yanuardi Syukur* * Mahasiswa Program Doktor Antropologi FISIP UI, Pengajar Antropologi Universitas Khairun, dan Pengelola Grup Whatsapp “Rumah Produktif Indonesia” sebagai sarana menjaga produktivitas manusia Indonesia di masa pandemi coronavirus.

Agama memiliki peran penting sebagai pegangan manusia di masa pandemi coronavirus. Dalam literatur antropologi misalnya, “agama sebagai sistem kultural” (Geertz, 1966) terkandung di dalamnya sistem simbolik manusia dalam menafsirkan dunia dan menjalani kehidupan mereka.

Dalam masa-masa seperti ini, agama memiliki peran signifikan sebagai penguat bagi manusia dalam menjalani berbagai tantangan kehidupan yang tidak biasa. Berbeda dengan coronavirus jenis sebelumnya yang transmisinya dari hewan ke hewan, virus jenis ini–yang dikenal dengan covid-19–menyebar dari manusia ke manusia.

Ketidakpastian, Kecemasan, Pelipur Lara

Dalam Cultural Anthropology: Appreciating Human Diversity (McGraw Hill, 2015), Conrad Phillip Kottak, menulis bahwa keyakinan akan sesuatu yang lebih kuat dan tidak terlihat, seperti “kekuatan supernatural” membantu dalam mengurangi kecemasan.

Artinya, kecemasan dan ketidakpastian yang dijalani manusia itu bisa ditanggulangi dengan keyakinan pada kekuatan yang maha besar yang ada dalam agama. Tiap agama memiliki keyakinan akan sang penguasa yang berkuasa atas segenap alam semesta raya.

Kehadiran coronavirus mulai bulan Desember 2019 lalu telah mengakibatkan 353.446 orang terinfeksi, dengan kematian 15.410, dan yang sembuh 100.614 orang (data Worldometers, per 23 Maret 2020 pukul 9:21 WIB). Dari jumlah ini, ada harapan bahwa jumlah orang sembuh itu lebih banyak ketimbang yang tidak.

Kehadiran agama dapat menjadi salah satu pegangan bagi manusia dalam menghadapi kejadian seperti sekarang. Bisa dikata, agama dapat menjadi pelipur lara bagi semua orang bahwa Tuhan maha tahu dan maha melihat apa yang terjadi di bumi ini. Tuhan dengan kasih dan sayang-Nya tidak mungkin menciptakan bumi dengan segenap kejadian di dalamnya dengan sia-sia. Selalu ada makna dan hikmah yang terkandung di dalamnya.

Menjaga Diri, Keluarga, dan Lingkungan

Kehadiran coronavirus bisa disebut sebagai ujian bagi manusia. Seharusnya, peristiwa ini menjadikan manusia bekerja sama untuk menuntaskan wabah global. Sejarawan Yuval Noah Harari dalam tulisannya di Time “In the Battle Against Coronavirus, Humanity Lacks Leadership” (15 Maret 2020), berargumen bahwa solusi menuntaskan masalah ini membutuhkan dua hal: kepercayaan dan kerja sama internasional yang tinggi.

Jika dibawa pada konteks nasional kita, maka dua hal itu rasanya cukup penting untuk menuntaskan wabah ini. Harus ada kepercayaan antar kita semua (rakyat kepada pemimpin) dan pemimpin juga memberikan yang sangat terbaik kepada rakyatnya sebagai bentuk pelayanan kepada orang banyak. Selain itu, juga harus ada kerja sama, koordinasi yang bagus antar kita semua.

Ketika pemerintah memaklumatkan bahwa kita harus isolasi diri di rumah maka kita harus lakukan itu semata-mata agar penyebaran virus ini dapat dikendalikan. Karena, jika tidak begitu dikhawatirkan jumlah penderita semakin tinggi sementara kemampuan rumah sakit dan tenaga kesehatan tidak mencukupi.

Namun, masalahnya kemudian, bagaimana dengan kelas menengah ke bawah yang penghidupannya ditentukan oleh sejauh mana dia bekerja setiap hari? Di sini perlu sekali adanya alokasi anggaran dari pemerintah kepada mereka. Atau, dalam kata lain, kegiatan yang tidak mendesak dalam mata anggaran bisa ditunda atau diganti saja dengan subsidi bagi rakyat banyak.

Peran Agamawan

Agamawan dapat berperan aktif untuk menyerukan jemaah-nya untuk taat pada “pembatasan sosial” (social distancing) dan “pembatasan fisik” (physical distancing) berjarak 2 meter agar tidak menularkan atau tertular. Tapi, satu yang harus tetap dijaga adalah jangan sampai tindakan itu membuat kita curiga berlebihan, bahkan rasis kepada orang tertentu.

Menjaga diri sendiri, menjaga keluarga, dan menjaga lingkungan agar tetap kebal dari virus adalah penting sekali. Tiap diri harus mengonsumsi makanan bergizi, keluarga juga harus makan dan istirahat yang teratur, serta lingkungan (online dan offline)–termasuk teman di grup-grup Whatsapp harus kita pedulikan dengan cara membagikan berita yang benar dan menggembirakan.

Terlalu sering menyebarkan berita “jumlah korban” tidak begitu bagus untuk psikologi. Sebaiknya, jumlah itu sekedar kita tahu saja, dan di saat yang sama kita saling memperkuat diri, keluarga, dan lingkungan, agar tetap yakin, dan percaya bahwa “di balik kesulitan pasti ada kemudahan”, dan badai wabah ini akan segera berlalu.

Ulama Indonesia, Prof. Dr. Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar ketika mengakhiri tafsir surat Al-Insyirah, menulis kutipan yang bagus sekali.

Di waktu saya masih kanak-kanak, tulis Hamka, ipar dan guru saya Ahmad Rasyid Sutan Mansur senantiasa membaca sambil menyanyikan sebuah syair, yang dari kerapnya saya mendengar, saya pun dapat menghafalnya dan menyanyikan pula:

“Apabila bala’ bencana telah bersangatan menimpamu,

pikirkan segera surah Alam Nasyrah.

‘Usrin terjepit di antara dua Yusran,

Kalau itu telah engkau pikirkan, niscaya engkau akan gembira.”

Saat ini kita berada dalam masa ‘usrin (kesulitan), tapi berpijak dari surat Al-Insyirah, kita yakin bahwa kata ‘usrin itu terletak di antara kata yusran (kemudahan). Maka, yakinlah kita bahwa kesulitan di masa coronavirus ini cepat atau lambat, insya Allah, akan selesai juga. Akan tiba juga masa kemudahan itu. Semoga dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Depok, 23 Maret 2020

Foto: see.news

Follow me

Leave a Reply

Your email address will not be published.