Pilkada dan Tantangan Demokrasi Lokal
Irwan Parlaungan Batubara – Ketua Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Panyabungan, Mandailing Natal – Pemilihan Umum Tahun 2019
Pilkada adalah proses untuk lebih dewasa menentukan hidup dengan baik, tidak sekedar faktor kekuasaan dan kepentingan ekonomi sepihak, atau penganut paham materialism, karena semua tidak harus dengan materi, jauh dari makna kepentingan harus adanya kesadaran berdemokrasi untuk memahami arti penting dari cinta tanah air, kedaulatan NKRI, kemajuan bersama dan cita cita dalam Pancasila.
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan salah satu manifestasi gerakan reformasi tahun 1998 yang menginginkan perubahan ketatanegaraan setelah sekian lama didominasi oleh corak otoritarianis menjadi demokratis. Demokrasi merupakan alternatif baru bagi perjalanan kehidupan bernegara, dengan mengusung tema dari, dan, oleh, untuk rakyat. Ditandai pula dengan hadirnya pilkada sebagai sarana kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin pada tingkat nasional hingga lokal. Amanat konstitusi yang termaktub dalam Undang Undang Dasar 1945, Pasal 18 ayat (4), menyatakan “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Suksesi kepemimpinan lokal kini ditentukan oleh rakyat bukan lagi dipilih oleh Presiden seperti yang berlangsung pada masa lampau.
Perjalanan Pilkada telah berlansung sejak tahun 2005 lewat Undang Undang Nomor Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan terakhir Undang-Undang No.10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Tahun Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Pada tahun 2020 ini, Komisi Pemilihan Umum akan melaksanakan pilkada serentak di 270 daerah, yang tersebar di 9 Provinsi, 224 Kabupaten, dan 37 Kota. Tentu, ini bukanlah pekerjaan yang mudah ditengah banyaknya pro dan kontra pelaksanaan pilkada serentak. Misalnya, diskursus dikembalikannya pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah oleh DPR dan DPRD. Kemudian tingginya beban biaya yang ditanggung negara akibat pelaksanaan Pilkada. Lalu, rendahnya partisipasi pemilih dan pelbagai persoalan lainnya.
Boleh dikatakan tujuan pilkada utamanya agar rakyat daerah bisa menentukan sendiri orang tertentu yang dianggap atau dinilai mampu membawa kebaikan bagi seluruh rakyat di daerah tersebut. Fokus penting yang terbangun adalah kesadaran politik rakyat daerah untuk bisa menentukan masa depan daerahnya sendiri melalui pemilihan kepala daerah yang tepat untuk memimpin daerah. Tentu saja, rasionalisasi sangat berperan penting agar antara rakyat sebagai pemegang kedaulatan dengan kandidat yang nantinya dipercaya bisa bersinergi untuk membangun daerahnya lebih baik. Tahun 2020 merupakan gelombang keempat pelaksanaan Pilkada Serentak, lalu bagaimana dengan tantangan demokrasi di tingkat lokal?
Setidaknya ada tiga hal yang menjadi tantangan dan perhatian utama pada penyelenggaraan Pilkada 2020 nanti. Pertama, partisipasi pemilih. Berkaca pada Pilkada tahun 2018, target partisipasi pemilih yang ditetapkan KPU sebesar 77,5 persen. Namun, hasilnya tingkat partisipasi pemilih secara keseluruhan dalam pemilihan gubernur adalah 72,66 persen, angka partisipasi masyarakat pada pemilihan bupati sebesar 75,56 persen, dan angka partisipasi masyarakat pada pemilihan wali kota 73,82 persen. Bahkan, di beberapa daerah yang partisipasi pemilih berada dibawah angka 50 %, dikhawatirkan melemahkan legitimasi calon terpilih.
Kedua, politik uang (money politics). Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia menerima 40 laporan kasus politik uang yang terjadi saat pilkada serentak 2018. Politik uang harus diakui merupakan momok terbesar dalam setiap rekrutmen dan kompetisi politik, termasuk dalam pemilihan kepala daerah. Ini terjadi karena politik itu sendiri merupakan sebuah arena tawar-menawar. Celakanya, tawar-menawar politik ini tidak didukung pertimbangan kompetensi dan visi misi calon. Sehingga, praktik politik uang menghilangkan munculnya pemimpin berkualitas dan tidak jarang menimbulkan gejolak yang mengganggu stabilitas tingkat lokal ditandai dengan pertikaian antar massa pendukung calon.
Ketiga, hoaks atau berita bohong. Statistik menunjukkan jumlah pengguna internet dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan, hal tersebut juga meningkatkan peningkatan penyebaran hoaks. Tujuan dari pembuat dan penyebar hoaks adalah menggiring opini masyarakat dan kemudian membentuk persepsi yang salah terhadap suatu informasi yang sebenarnya. Harus diakui bahwa media sosial merupakan tempat yang subur bagi munculnya informasi yang bersifat fitnah, hasutan, hoaks, dan sebagainya. Hal ini dapat terlihat jelas sejak pilgub 2012, pilpres 2014, pilgub 2017 dan mulai terlihat lagi tahun 2018 menjelang pilpres 2019. Menurut hasil survey Mastel (Masyarakat Telematika Indonesia) penyebaran berita atau informasi yang berisi konten hoaks tertinggi berasal dari media sosial berupa, facebook sebesar 92,4%, aplikasi chatting (percakapan) sebesar 62,8%, dan situs web sebesar 34,9%.
Pilkada menjadikan rakyat sebagai aktor dominan dalam proses kandidasi lokal. Namun, belakangan muncul asumsi bahwa Pilkada hanya menjadi kesempatan untuk membeli suara rakyat, mendapatkan kekuasaan dan mengabaikan masa depan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan. Terhadap tantangan diatas jika diabaikan dapat mereduksi esensi pilkada dan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Dalam menghadapi tantangan diatas perlu kesadaran bahwa masa depan demokrasi di tingkat lokal dan kesuksesan event Pilkada yang sebentar lagi akan berlangsung merupakan tanggungjawab seluruh pihak (KPU, Bawaslu, Pemerintah Daerah, Partai Politik, Aparat Keamanan dan kelompok masyarakat).
Kemudian, partai politik peserta melalui kandidatnya mendorong pendidikan politik yang baik dengan tidak menjadikan money politics sebagai senjata pamungkas memenangkan kontestasi, tetapi dengan menawarkan gagasan baru dan harapan perbaikan kesejahteraan masyarakat. Terakhir, penyelenggara pemilu beserta pemangku kepentingan lain harus menyasar kelompok masyarakat untuk memberikan literasi demokrasi sehingga masyarakat tidak reaktif, tapi mengedepankan nilai rasionalitas dalam menampung dan menyampaikan informasi yang diterima.
- Diskusi Kearifan Budaya Lokal Kabupaten Rejang Lebong - November 3, 2024
- Evaluasi Program Kerja Komunitas Penggerak Literasi Bengkulu - November 3, 2024
- Muzium Negara Malaysia - November 3, 2024
Leave a Reply