FAHRUL ROZI._
Guru PAI (Pendidikan Agama Islam) di salah satu SMK Swasta Curup._
Kehidupan yang senantiasa berhadapan dengan beraneka ragam ujian, variasinya masalah serta bertaburnya godaan memikat pikiran dan hati manusia. Ujian yang datang silih berganti, hingga kesedihan rasanya tak berkesudahan. Namun bila ini semua disikapi dengan ridho ilahi akan membuahkan kematangan dan kedewasaan dalam hidup. Bermula kehidupan maka lahirlah ujian, ini merupakan penekanan bahwa antara hidup dan ujian tidak dapat dipisahkan, semakin gelombang ujian menerjang maka layar kedewasaan semakin berkibar dan tiang-tiang kebijaksanaan semakin kokoh.
Karena tantangan berupa ujian, godaan dan masalah yang begitu berat dan komplek, maka dibutuhkannya sosok insan terdidik, berbudi pekerti tinggi dan memiliki keterampilan khas dunia dan keterampilan berbalut keilmuan khas akherat. Sebagai seorang muslim yang lahir dan berkembang ditengah-tengah masyarakat, sudah barang tentu harus ikut andil dalam memajukan perkembangan masyarakatnya, pelayan atau abdi masyarakat merupakan cita-cita luhur yang harus tertanam dalam kejiwaan seorang muslim sejati, karena dikala seorang pergi dalam menuntut ilmu sebagai wakil masyarakat maka seyogyanya juga harus kembali lagi ditengah masyarakat untuk berperan sebagai pembangun fisik dan jiwa yang masih tertidur dalam masyarakat yang ia wakili, ini juga yang merupakan tujuan didirikan sebuah lembaga pendidikan pondok pesantren, untuk membina kepribadian seorang muslim serta menempah mental seorang muslim yang akan memiliki ruh-ruh keimanan kepada ALLAH SWT.
Tujuan pendidikan Pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian Muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, beraklak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat tetapi rosul, yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad SAW (mengikuti sunnah nabi), mampu berdiri sendiri, bebas, dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat di tengah-tengah masyarakat (‘Izz al-Islam wa al Muslimin) dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Muslim. 1
Seorang Muslim yang berpeluang belajar di pondok pesantren disebut juga sebagai Santri, yang bermukim di pondok, menginap di asrama pesantren sebagai tempat berinteraksinya antara santri dan ustadnya dalam mendiskusikan ilmu agama, pendalaman kitab-kitab klasik, membuka dan menyampaikan risalah-risalah sejarah Rosul sebagai sosok yang harus menjadi idola dalam hidup seorang santri selain kyai yang ada di pesantren, karena sosok Nabi bukan saja menyampaikan tentang Aklak mulia tetapi juga mencontohkan aklak mulia itu sendiri. Aklak indah nan agung dari seorang Rosul yang pandai bersyukur, penjaga dan pencinta anak-anak yatim, kemudian beliau juga mengajarkan bahwa selain harus berakhlak kepada Allah, juga berakhlak kepada sesama manusia yang di simbolkan dalam “kedua salam dalam sholat”, maka umat manusiapun wajib beraklak pada seisi alam.2
Santri yang belajar ilmu yang bersumber dari langit (wahyu) tetapi harus mengaktualisasikan ilmu itu ke bumi sebagai abdi masyarakat nantinya, dapat menjadi penerang dan rujukan terutama tentang keilmuan agama, agar antara syariat dan hakikat ilmu agama dapat sesuai dengan Al Quran dan Hadis Nabi. Tentu dalam kapasitas seorang santri dia memiliki kewajiban menyampaikan ilmu agama, social, spiritual, akhlak mulia ditengah masyarakat tempat dia bermukim. Sarana dakwah dapat melalui mimbar masjid, di majelis-majelis ilmu dan dzikir, dan tentunya cita-cita terbesar dari seorang santri ialah mendirikan lembaga pendidikan Pesantren.
Sebagai abdi masyarakat maka tantangan seorang santri cukup besar, apalagi niat dalam hatinya untuk merubah adat istiadat atau kebudayaan dalam masyarakat yang dia anggap bertentangan dengan syariat. Saya kenal seorang santri yang usianya tidak terlalu jauh terpaut dengan saya, saat ini beliau sudah mengasuh sebuah pondok pesantren tempat masa kecil saya dulu. Awal sebelum pesantren itu berdiri, lokasi tersebut dulunya tempat maksiat (mesum), hampir tiap malam digunakan pesta miras, dan pelayanan plus dari pelayan wanita disana.
Dengan niat dan tekad yang kuat, beliau terus memberikan pencerahan, dan membimbing masyarakat disana agar lebih mendekatkan diri kepada agama, dan tinggalkan kebiasaan berbuat asusila yang akan mendatangkan kemurkaan Allah SWT. Ikhtiar, penuh harap dan bersandarkan diri kepada pertolongan Allah dengan kesabaran yang tinggi, walau banyak yang menentang, memusuhi bahkan ada yang berusaha untuk mencelakainya, namun pertolongan Allah sangat dekat. Akhirnya hampir seluruh penghuni tempat maksiat itu bertobat menyadari kekeliruan mereka dan kembali kepada pangkuan agama.
Tugas tersebut tidak ringan, apalagi dari hari ke hari tantangan-tantangan yang dihadapi semakin besar dan kebutuhan manusia. Pun semakin banyak, agama melalui para agamawan dan dengan tuntunan kitab suci, harus mampu memberi jalan keluar yang realitis terhadap problem-problem masyarakat, dan perselisihan (perbedaan) mereka. Karena, memang demikian itulah tujuan kehadiran para nabi dengan kitab suci mereka masing-masing (baca QS Al Baqarah (2) : 213). Agama atau agamawan, tidak boleh menjadi sumber perselisihan yang mengakibatkan perpecahan, dan tidak boleh pula menjadi penghambat pembangunan.
Oleh karena itu, agamawan harus mampu mematahkan secara bijaksana rintangan-rintangan yang mengganggu kesinambungan dan kemajuan pembangunan, khususnya yang bersifat ide dan pemikiran, seperti takhayul, khurafat, dan semacamnya. 3 Dengan gemblengan didalam pondok Pesantren maka sosok santri akan menjadi Sosok yang memiliki etos kerja yang tinggi sesuai tuntunan dan contoh Rosulullah SAW, memiliki adab-adab dalam ilmu, juga kemandiriaan dalam menuntut ilmu serta mandiri dalam hidupnya.
Bila ia santri, ketika ia sudah ditempatkan dalam jenis kerja, yang terkadang dalam dunia kerja itu penuh pemikiran, diharus menjaga moralitas dan sanubari, maka ia akan menjadi terbaik dari yang baik. Kalau ia santri, jadi polisikah, jadi Anggota Dewan terhormatkah, jadi Pengusahakah, atau yang lainnya. Yang terpenting apupun cita-cita dan kerjanya asal ia adalah seorang santri maka tujuan utama dari hasil kerjanya yakni mengharapkan kasih sayang dariNya. Nantilah kita berpikir kerjanya apa, nantilah kita berpikir jabatannya apa, hal yang perlu dirisaukan bagi orangtua, dikala nanti anaknya dewasa. Apakah mereka akan berbakti kepada kedua orangtuanya, apakah orentasi hidupnya hanya untuk mengejar kebahagiaan dunia ini saja, ataukah mereka sesuai dengan harapan kita memiliki kesadaran Ketuhanan (generasi Robbani), berakhlakul karimah, memiliki kecakapan ilmu dunia dan ilmu agama.
Agar kerisauan ini terobati, salah satu obat mujarab yang sudah berijazah dan teruji yakni menyekolahkan anak ke Pesantren atau arahkan mereka untuk mendalami ilmu di lingkungan Pesantren. Memang ini bukan perkara mudah, karena banyak orangtua yang bermimpi dan berharap anaknya dapat disekolahkan di pesantren tapi nyatanya anaknya mereka tidak siap, dan mereka beranggapan belajar dipesantren bertentangan dengan kebiasaan mereka. Tentu tidak mudah anak-anak usia dini untuk melepaskan kebiasaan mereka (bermain games, chating, WA dan Youtube ) yang sudah tertanam dalam benak mereka bahkan ada yang sudah menjadi kebutuhan mereka (dunia mereka), padahal kebutuhan akan itu dapat ditunda, “pada waktunya nanti mereka akan mengenal itu semua dengan sendirinya”, anak yang sudah terbiasa dengan Gadgetnya dari usia dini, maka jangan berharap mereka akan memenuhi keinginan orangtuanya untuk bersekolah di Pesantren.
Bagi mereka pesantren bukan dunianya karena akan membatasi dan menghilangkan kebiasaan mereka ini. Pendidikan yang sesuai dengan Al Quran dan hadis yakni pada masa usia dini maka anak tanamkan nilai-nilai Tauhid, pada usia anak-anak pembiasaan kepada amalan-amalan ibadah seperti sholat, mengaji dan berbudi pekerti yang luhur. Dari Amri bin Syu’aib dari ayahnya berkata : Rosulullah SAW, bersabda :”Suruhlah anak-anak kecil kamu melakukan sholat pada (usia) tujuh tahun dan pukullah mereka (bila lalai) atasnya pada (usia) sepuluh tahun, dan pisahkanlah di tempat-tempat tidur”.( Hadits hasan diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 495, Ahmad,II/180,187, Al Hakim,I/197)
Rumah sebagai pusat pembiasaan perilaku positif anak-anak- disamping masjid dan madrasah- dalam berbagai kondisi agar terbentuk generasi saleh yang kuat mentalitas keislamannya, tidak terpengaruh oleh perubahan zaman, dan tidak salah arah disebabkan salah asuhan. Mereka diharapkan seperti generasi ashhabul kahfi. Pemuda kesatria, militan dan memiliki integritas. Oleh karena itu, rumah islami sangat akrab dengan pembiasaan amal ibadah shalat dan yang lainnya. Anak-anak tidak keliru memilih orang untuk dijadikan teman karena Allah (ikhwan lillah) serta berteman dalam aktifitas social lainnya di jalan Allah (ikhwan fillah)
Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui (QS Al Ankabut (29):41) Berbahagialah para orangtua yang memiliki anak-anak yang “sigap terampil” memenuhi panggilan Allah tanpa disuruh. Dengan begitu,secercah harapan bahwa mata rantai cahaya iman melalui peralihan generasi masa depan dapat dibanggakan untuk kejayaan Islam dan kemuliaan kaum beriman. 4
Siapa bilang, santri itu identic dengan anak kurang makan, badan gatal-gatal karena keseringan mandi dengan air kurang bersih, tubuh kurus dan batuk-batuk karena tidur dilantai beralaskan tikar selembar. Paradigma seperti ini perlu di kritisi. Karena fakta yang sebenarnya, kebanyakan para santri memiliki tubuh dan jiwa seimbang. Di awali dengan pola makan yang teratur, yang ini akan menghasilkan santri on time atau santri yang disiplin, bukan saja jadwal makan mereka yang diatur, jadwal ibadah dikemas sedemikian rupa, hingga ibadah wajib dan sunah dapat semua mereka kerjakan dengan teratur.
Sayapun pernah berkesempatan menginap beberapa hari di sebuah Pesantren Ternama, hawa sejuk nan lestari menyambut kedatangan kami. Ada sebuah masjid ditengah-tengh Pesantren ukuran cukup besar menampun ratusan jamaah. Masjid itu hanya berpagar sekitar 1 meter tingginya, yang tujuannya agar semua aktivitas didalam masjid dapat terlihat walapun jarak kita cukup jauh dari masjid. Suara masjid selalu terdengar ciri khas pesantren, panggilan pada santri ataupun berupa pengumuman untuk semua santri dari senior ataupun ustad senantiasa berbahasa Arab. Dikala azan dzuhur berkumandang, akan terlihat laksana lebah yang akan hinggap disebuah dahan, sangat teratur, para santri tanpa dikomando bergegas keluar dan turun dari asrama menuju masjid, tentu tidak lupa semua santri mengenakan sarung yang beraneka ragam coraknya bahkan ada yang mengenakan setelah kain yang dibentuk seperti celana panjang, hati saya takjub sekali Subhanallah betapa indah suasana ini.
Sebelum di iqomahkan tanda sholat berjamaah dimulai, ada beberapa santri yang bersholawat dengan suara yang sangat merdu sekali, kemudian ustadnya mengarahkan santri semua dengan menggunakan bahasa Arab, dan saya perhatikan ekpresi wajah-wajah santri disekitar saya, mereka sangat akrab dan paham dengan kalimat yang disampaikan ustad tersebut. Setiap kali saya berpapasan dengan santri, mereka semuanya menyambut, menyalami dan mencium tangan saya, dan ini berlaku juga pada tamu-tamu yang hadir di Masjid tersebut, Masya Allah mereka sudah sangat terdidik sekali dalam akhlakulkarimah, menyebabkan tak terasa air mataku menetes, dan dalam hatiku berguman”Alangkah bahagianya orangtua yang menyekolahkan anak-anaknya dipesantren.
Dikala kami akan meninggalkan pesantren, pandangan saya tertegun dengan seorang santri yang menangis mengejar mobil orangtuanya yang akan pulang untuk meninggalkan anak tersebut dipesantren, beberapa santri lain bergegas menahan dan membujuk santri yang menangis itu. Sayapun ikut terharu melihatnya, akan tetapi semua haru itu sirna ketika mata saya melihat sebuah kalimat yang ditulis cukup besar dihalaman Pesantren yang berbunyi”Jangan menoleh kebelakang, lebih baik menangis sekarang dari pada menangis nanti ketika anak jauh dari agama”
Sementara kata “SANTRI” terdiri dari enam huruf, huruf S bermakna, sehat jasmani dan rohaninya. Huruf A bermakna Akhlaknya Mulia, huruf N bermakna Nasionalisme, huruf keempatnya T bermakna Tawaduk dengan ilmu yang dimilikinya, huruf R bermakna rupanya bersih dan bercahaya dengan air wudhu yang senantiasa terjaga 5 , sementara kata terakhir I bermakna Intelektual dengan Spiritual dan social yang tinggi. Seorang santri yang sudah berdedikari di Pesantren biasanya melaksanakan amal ibadah dengan jadwal yang padat, terbiasa bangun malam untuk melakukan sholat tahajud dan sholat subuh berjamaah. Selain itu mereka juga sangat dianjurkan untuk melaksanakan puasa sunah seperti puasa senin-kamis. Menjelang marahari berajat naik, menandakan waktu dhuha sudah tiba, secara spontannitas mereka mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat tersebut. Di dalam pesantren disediakan juga sarana olahraga, ini semua akan menghasilkan seorang santri yang Sehat jasmani dan rohaninya. Santri yang sehat jasmani dan Rohaninya akan membuat Indonesia kuat. Kekuatan sebuah bangsa dikala rakyatnya memiliki kecintaan yang tinggi pada negaranya, sementara santri sudah tertanam dalam relung jiwanya akan rasa Nasionalisme dan cinta tanah air yakni Negara Indonesia. Dengan rasa ini mereka akan ikut andil untuk memajukan, mengharumkan nama Indonesia, mengisi kemerdekaan dengan prestasi yang terbaik.
CATATAN :
- Mujamil Qomar, Pesantren (Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi), (Jakarta, Erlangga), h. 4
- Dalam bukunya Lentera Al-Quran (Kisah dan Hikmah Kehidupan), Quraish shihab, h.28, menguraikan :”Apabila kalian mengendarai binatang, berikanlah haknya, dan jangan menjadi setan-setan terhadapnya.”,”Seorang wanita dimasukan Tuhan ke neraka dikarenakan ia mengurung seekor kucing, tidak diberikannya makan, dan juga tidak dilepaskan untuk mencari makan sendiri,”.
“Seorang yang bergelimang di dalam dosa di ampuni Tuhan karena memberikan minum seekor anjing yang kehausan”.
Sebelum dunia mengenal istilah “kelestarian lingkungan”, manusia agung ini telah menganjurkan untuk hidup bersahabat dengan alam. Tidak dikenal istilah penundukan alam dalam ajarannya, karena istilah ini dapat mengantarkan manusia kepada sikap sewenang-wenang, penumpukan tanpa batas tanpa pertimbangan pada asas kebutuhan yang diperlukan. Istilah yang digunakan beliau adalah “Tuhan memudahkan alam untuk dikelola manusia “(lihat QS 14 : 32). Pengelolaan ini disertai dengan pesan untuk tidak merusaknya, bahkan mengantarkan setiap bagian dari alam ini untuk mencapai tujuan penciptaannya. Karena itu, terlarang dalam ajarannya menjual buah yang mentah, atau memetik kembang yang belum mekar.”Biarkan semua bunga mekar agar mata menikmati keindahannya dan lebah mengisap sarinya.
- Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi (Hidup Bersama Al Quran), (Bandung, Mizan), h. 82
- Habib Syarief Muhammad Alaydrus, “Agar Hidup Selalu Berkah (Meraih ketenteraman hati dengan hidup Penuh Berkah), Bandung, Mizania, h. 73
- Rosulullah saw, bersabda, ”Sesungguhnya umatku akan dihadirkan pada hari kiamat dengan wajah, tangan, dan kaki yang bercahaya karena bekas-bekas wudhu mereka. Oleh karenanya, barangsiapa di antara kalian yang bisa memperpanjang cahayanya, maka hendaklah dia lakukan (H.r, al-Bukhari, hadis no. 136, dan Muslim, hadis no. 246).
- Sumber Gambar : https://www.almunawwir.com/kelebihan-dan-kedudukan-seorang-santri/