Batu Tri Sakti, Kerajaan Rejang Lebong, Sriwijaya dan Majapahit

Batu Tri Sakti salah satu cagar budaya di Kabupaten Rejang Lebong, tepatnya di Desa Suban, dekat dengan Batu Menangis, Batu Tri Sakti tidak sekedar simbol yang berbentuk batu; tetapi memiliki makna Sejarah yang mendalam bagaimana dulu Kerajaan Rejang Lebong; bagian dari Sriwijaya dan Majapahit, Karena keberadaan Majapahit tidak hanya di pulau Jawa tetapi memiliki wilayah kekuasaan hingga Sumatera.

Pengaruh dari daerah asing; Seperti China dan India, bila di baca karya Prof. Slamet Muljana, selain Sriwijaya beliau juga menulis buku tentang Runtuhnya Kerajaan Hindu – Jawa dan Munculnya Kerajaan Kerajaan Islam di Nusantara. Tertulis dalam ringkasannya dalam buku tersebut menjelaskan poses runtuhnya kerajaan Majapahit sebagai kerajaan terbesar di Pulau Jawa. Setelah Hampir 200 tahun berdiri megah sebagai kerajaan Hindu tertua di tanah Jawa, Majapahit akhirnya hancur terkubur dalam puing-puing sejarah.

Keruntuhanya terpicu oleh pergolakan sosial-politik yang tak terpisahkan dari peran Wali songo dalam persebaran Islam di Nusantara. Perebutan kuasa dan pertarungan ekonomi turut pula mewarnai episode terpenting dari sejarah Indonesia Pramodern ini. Hal yang kontroversi yaitu ketika beliau menyampaikan bahwa Walisongo berasal dari China, dengan beberapa penemuan beliau, tetapi kembali kepada konsep Belajar Sejarah adalah kekuatan tafsir dengan dokumen yang ada, begitu juga metodologi yang digunakan oleh Filolog atau Arkeolog kekuatan tafsir dari alat pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki.

Batu Trisakti dari kisah juru kunci (Surya) menyampaikan bahwa dahulu, kejayaan Kerajaan Rejang Lebong yang memiliki keterhubungan dengan Sriwijaya dan Majapahit. Batu Trisakti batu saksi pertemuan Rajo Bitan (orang Rejang), Rajo Bengkulu dan Utusan Putri dari Majapahit, bertemu bermusyawarah untuk kepentingan bersama yaitu menjaga keamanan dan ketertiban daerah, karena menurut pemahaman atau tafsir sejarah, pertemuan di lakukan karena dasar nya yaitu sebelum bisa terjadi ketidaknyamanan, atau ada serangan dari luar, sehingga Raja – Raja yang berada di daerah kawasan yang sama bersepakat mengadakan pertemuan untuk saling menjaga keamanan dan ketertiban, sehingga pihak luar tidak bisa menyerang atau berkuasa.

Dikutip dari catatan Sanca (masyarakat Rejang)

batu Tri Sakti memiliki cerita tentang tiga orang hebat yakni Sebei Teret, Sebei Tikis dan Sebei Bitan yang hinga kini dipercayai dapat memberikan pertolongan kepada pengunjung. Bahkan hingga saat ini, masih ada beberapa warga yang meminta pertolongan dengan membawa beberapa sesajian ke tempat keramat itu. Bila kita langsung ke lokasi kita melihat sesajen ada di Batu Trisakti, ada tiga batu dengan bentuk yang berbeda beda, ada seperti gunung dan meja, biasanya sesajen di letakkan di atas meja batu._

Bila di telusuri, bahwa masyarakat Rejang memiliki sisi mistis tersendiri, dengan berbagai tradisi yang ada, apakah ini pengaruh dari sikap animisme atau dinamisme, tetapi harus ditelusuri lebih lanjut, karena menurut beberapa sumber yang ada Masyarakat Rejang adalah Masyarakat yang relegius, Masyarakat yang menjalankan syari’at dengan baik dan benar, karena beberapa tokoh agama lahir dari tanah Rejang seperti Khafidin Bin Bun, dan tokoh agama yang lain.

Dikutip dari laman Rejanglebong, ada catatan tentang Pangeran Egok adalah nama yang lebih dikenal dari nama aslinya yaitu Kafidin bin Bun. Beliau bergelar Pangeran Mangku Negeri. Diangkat menjadi Pesirah Sindang Kelingi setelah berhasil mengalahkan saingannya dari desa Ujan Panas Marga Sindang Kelingi. Pusat kedudukan pemerintahan Marga berada di Kampung Delapan desa Kepala Curup. Pusat pemerintahan marga biasanya sesuai dengan lokasi rumah pesirah. Tampak masyarakat Rejang adalah masyarakat yang relegius dengan internalisasi nilai-nilai agama dalam Budaya yang dilaksanakan.

Batu Trisakti, adalah simbol untuk menjaga norma norma yang ada, norma agama, norma hukum, adat dan istiadat serta kesusilaan. Menjaga keamanan dan ketertiban Tentu adanya penegakan norma dan hukum yang ada, hal ini menjadi keteladanan dari Masyarakat Rejang menjadi cerminan kepribadian, bukan melakukan tradisi animisme dan dinamisme, karena kepercayaan hanya tunggal, kepada Tuhan yang Maha Esa.

Sumarto sumarto
Latest posts by Sumarto sumarto (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.