Nabi Ayub, Cerita Konspirasi, dan Kita

Oleh Yanuardi Syukur* *Antropolog Universitas Khairun, Mahasiswa Program Doktor Antropologi FISIP UI, Pendiri Rumah Produktif Indonesia.

Penguat terbaik bagi jiwa manusia dalam masa krisis adalah agama. Agama sangat powerful untuk menguatkan jiwa dan menyehatkan akal pikiran. Apalagi jika diktum dan cerita dalam kitab suci direnungkan dengan hati yang jernih dengan mengaitkannya dengan kondisi yang terjadi di dunia.

Kisah dalam Al-Qur’an tidak hanya berfungsi sebagai pengingat tapi juga sebagai penguat iman bagi mereka yang sedang ditimpa musibah seperti wabah corona yang saat ini melanda sebagian besar belahan dunia. Terkait dengan wabah, ada baiknya kita kembali mempelajari bagaimana kisah Nabi Ayub (sekitar 1540-1420 SM) yang diuji dengan penyakit selama 18 tahun tapi sabarnya tuh maksimal banget.

Teladan Nabi Ayub

Bisa dikatakan bahwa, salah satu kisah kesabaran paling legendaris dalam Al-Qur’an adalah kisahnya Nabi Ayub. Alkisah, Ayub as. awalnya adalah orang kaya dan sehat. Tapi, kemudian diuji dengan penyakit. Ia jalani ujian selama hampir dua dekade itu, tanpa mengeluh.

Al-Qur’an mengabadikan kisah nabi yang namanya 4 kali disebutkan dalam kitab suci umat Islam. “Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya, “(Ya, Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.” (QS. Al-Anbiya: 83)

Karena sabarnya yang sangat luar biasa menjalani ujian,”Maka Kami pun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami melenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipatgandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.” (QS. Al-Anbiya: 84)

Selama 18 tahun itu ada banyak sekali godaan yang dia hadapi. Salah satunya dari setan, sebuah makhluk astral yang telah berjanji untuk terus menggoda manusia untuk jauh dari orbit Tuhan. Tapi, semua godaan itu tidak diladeninya. Akhirnya, dia kemudian sembuh dan hidup seperti biasa.

Umar Sulaiman Al-Asyqar (2018), seorang ulama dari Yordania, dalam “Mutiara Hadis-Hadis Kisah: Menyimak Nabi Bercerita tentang Hidup Para Nabi dan Teladan Umat Masa Lalu” (judul aslinya: Shahih Al-Qashash Al-Nabawi) menjelaskan bahwa “kesabaran akan bermuara pada kebaikan, di dunia maupun di akhirat.”

Ketika sakit, tulis Al-Asyqar, Nabi Ayub selalu mengagungkan Tuhannya. Artinya, saat seseorang ditimpa dengan musibah atau ujian kehidupan, yang harus mereka lakukan bukanlah mengeluh, atau menyalahkan orang lain. Akan tetapi, mengingat Tuhan dan semakin mendekatkan diri kepada-Nya.

Saat ini, musibah wabah corona bisa disebut sebagai ujian kemanusiaan di dekade kedua abad ke-21. Dekade pertama kita diuji dengan terorisme global yang tidak hanya merobohkan dua gedung kembar di New York, tapi juga disusul oleh berbagai perang hampir 20 tahun di Timur Tengah dan “hit and run” di berbagai kota di banyak negara. Musibah teror itu kemudian mulai surut seiring dengan melemahnya kekuatan Al-Qaeda dan ISIS di Timur Tengah.

Konspirasi Wabah

Kini, musibah global kita adalah wabah. Sebuah wabah yang awalnya tidak dikenali, tapi kemudian muncul dan menyebar dengan cepat. Mereka yang rajin membaca novel dan film Barat mungkin sudah pernah melihat bagaimana petaka dunia saat wabah melanda.

Novel “Inferno” besutan Dan Brown misalnya menceritakan pertumbuhan populasi manusia yang kini dianggap telah over, atau berlebihan. Sementara itu, pasokan makanan yang tersedia sangat kurang.

Kutipan dari novel itu menjelaskan bahwa butuh waktu 100 ribu tahun agar populasi mencapai satu miliar, lalu 100 tahun untuk mencapai 2 miliar jiwa, dan 50 tahun untuk menjadikannya 4 miliar jiwa pada tahun 1970. Kini hampir 8 miliar jiwa. Dalam 40 tahun mendatang, 32 miliar jiwa akan bertahan hidup. Setiap wabah di bumi akibat dari overpopulasi. Langkah pengendalian kelahiran tidak efektif. Ada 5 kepunahan besar yang terjadi dalam sejarah. Lanjutannya, “Jika kita tidak bertindak, kitalah yang selanjutnya akan punah. Waktu kita hampir habis.”

Entah dari mana novelis kelahiran Exeter, New Hampshire, Amerika (1964) dapat ide cerita itu, akan tetapi pecinta teori konspirasi mulai menghubungkan antara berbagai fakta yang terserak sehingga salah satu kesimpulannya adalah wabah ini ulahnya salah satu kelompok rahasia yang berdiri pada 1776.

Kendati ada saja fakta menarik dari novel dia, tapi dalam beberapa data Dan Brown dianggap spekulatif dan menyesatkan. Galileo Galilei (1564-1642), misalnya, dan Bernini (1598-1680) bukanlah anggota Illuminati, seperti diceritakan dalam novel Dan Brown.

Ketika berdiskusi dengan seorang kawan di salah satu rumah ibadah yang berdiri sejak 1855 di Amerika, saya pernah bertanya tentang “kebenaran” kelompok rahasia dalam novel Dan Brown. Kata kawanku, yang seorang tokoh agama itu, “itu hanya fiksi, tidak benar.” Ya, karena itu hanya novel, katanya. Tapi, percaya atau tidak, sebuah novel yang best-seller internasional biasanya lahir dari kajian berbagai literatur, cerita oral dan tulisan yang dipadukan dengan imajinasi dan skill menulis yang lincah.

Terlepas dari narasi yang disuguhkan pada novelis atau sutradara film tentang wabah dan konspirasi, kehadiran virus corona kemudian mulai disambungkan dengan cerita fiksi tersebut. Kebenaran tentang itu tentu saja harus dikaji lebih dalam dengan data-data yang otoritatif.

Sabar, Ikhtiar, Ikut Protokol

Ujian yang dihadapi oleh Nabi Ayub sampai sekarang tidak diketahui apakah karena adanya “konspirasi” orang di zamannya atau bukan. Kitab suci tidak menjelaskan itu. Poin paling penting yang dijelaskan oleh kitab suci adalah apapun jenis ujian atau musibah–mau yang terjadi karena faktor alam atau “ulah tangan manusia”–yang paling penting adalah bagaimana respon terhadapnya.

Dalam diskusi di Rumah Produktif Indonesia, saya meyakini bahwa respon terbaik manusia dalam situasi kayak begini adalah dengan beradaptasi. Adaptasinya bisa dengan bersabar sebagai orang beragama dan berikhtiar dengan mengikuti protokol yang diperintahkan oleh pemerintah.

Suatu ketika, ada yang bertanya pada Buya Yahya, seorang ulama asal Cirebon, bagaimana menyikapi anjuran pemerintah agar tidak salat berjemaah di masjid dan tidak berkumpul (ramai-ramai) salah satunya dalam pengajian. Jawabannya saya suka. Katanya, jika anjuran atau protokol itu jujur dari petugas medis dan pemerintah untuk kemaslahatan, maka harus dipatuhi.

Kepatuhan terhadap protokol ini bagian dari ikhtiar agar penularan wabah dapat dikurangi. Ikhtiar atau usaha tersebut harus dilaksanakan demi kepentingan orang banyak. Teori konspirasi kadang tidak mau tahu dengan itu, apalagi menaruh curiga pada WHO. Kita sebagai manusia berakal tentu saja dapat mempertimbangkan segala yang baik dan buruk dengan akal dan hati kita. Sejauh ini, anjuran WHO bagus-bagus saja untuk kepentingan kesehatan.

Adapun kesenangan untuk menuduh orang lain atau nada-nada nyinyir yang men-downgrade pejabat yang sedang bekerja di tengah situasi pandemi ini sebaiknya ditinggalkan. Bukan berarti suara kritis harus dihilangkan, tapi ada baiknya kita juga tetap adil dan berorientasi pada solusi.

Jangan tiap hari kerjanya nuduh terus di media sosial sampai orang yang baca juga ikutan stress–seakan-akan tidak ada baiknya pemerintah yang lagi bekerja. Atau mungkin pecinta “downgrading” tersebut punya rasa takut yang berlebihan, seperti kata Publilius Syrus (85-43 SM): “Contideam natur qui semper timet” (Yang setiap hari menuduh adalah yang selalu takut).

Mari kita saling menguatkan sesama anak bangsa untuk melewati ujian wabah ini dengan kesabaran, mengikuti protokol, dan mensupport pemerintah dan petugas kesehatan agar tetap kuat dan maksimal. Hentikan sumpah-serapah. Lebih baik kita nyalakan lilin di tengah “kegelapan”, cari solusi, ketimbang tiap hari kerjaannya mengutuk mulu. Kayak orang lain nggak ada benar-benarnya, trus kayak dia aja gitu yang paling benar. Udahan dulu napah bro.

Depok, 26 Maret 2020

Follow me

Leave a Reply

Your email address will not be published.